Menurut Pakar, Gen Z Lebih Sulit Memiliki Rumah, Ini Alasannya
Banyak laporan yang mengatakan bahwa Gen Z lebih sulit memiliki rumah. Sampai salah satu pakar yaitu Ratna Satiti seorang Dosen Manajemen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) membeberkan bahwa ada perbedaan tantangan yang dihadapi oleh generasi Z dan generasi milenial dan generasi Z dalam membeli rumah, salah satunya adalah faktor gaji. Seperti yang diketahui, baik membeli atau membangun rumah, membutuhkan dana yang tidak sedikit pada masa kini. Harga material bangunan juga mengalami kenaikan setiap tahunnya, sehingga bagi generasi milenial dan generasi Z rasanya untuk memiliki rumah menjadi lebih sulit.
Lalu, bagaimana dengan generasi Z lebih sulit memiliki rumah? Berikut beberapa alasan yang menjadi penyebabnya:
1. Gaji generasi Z yang stagnan
Berbeda dengan generasi milenial yang bisa mengalami kenaikan gaji, maka pada generasi Z justru gaji bersifat stagnan. Jadi, banyak generasi Z tidak hanya mengandalkan gaji bulanan tapi ada yang mencari sampingan seperti menjadi content creator atau sebagainya.
2. Persyaratan kredit yang semakin sulit
Pada generasi Z, pada pemberi kredit sekarang memberikan persyaratan yang lebih ketat dan tidak hanya itu, suku bunganya juga lebih tinggi. Tidak hanya itu, akibat pandemi yang melanda di seluruh sektor ekonomi, maka tidak sedikit generasi Z yang bekerja di sektor informal dan perekrutan sistem kerja dengan jangka waktu kerja yang pendek dan tidak memiliki tunjangan baik tunjangan kesehatan, pendidikan, bahkan hingga jaminan hari tua.
3. Generasi Z lebih melek finansial
Walaupun poin 1 dan 2 tidak menguntungkan bagi generasi Z, namun ternyata mereka adalah generasi yang melek dengan finansial. Mereka sadar untuk melakukan investasi sejak dini dan melek teknologi dan dibarengi dengan adanya lotus of control dan behavioral finance yang baik. Lotus of control sendiri adalah kendali atas keputusan finansial dan tidak mudah terpengaruh oleh faktor eksternal contohnya adalah tekanan gaya hidup dan adanya kemudahan dalam sistem pembiayaan seperti Pay Later. Untuk behavioral finance sendiri adalah pengambilan keputusan keuangan yang dapat digambarkan seperti berbelanja impulsif atau mengambil risiko yang tidak perlu.
Selain ketiga poin tersebut, ada juga generasi Z yang berpikir bahwa sistem Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) sendiri adalah perjalanan hutang yang panjang dan melelahkan. Ke depannya tentunya kita berharap semoga para generasi Z dan para pemangku kekuasaan serta pemberi KPR bisa bersinergi bersama dan bisa memberikan yang terbaik untuk generasi Z dalam memiliki rumah, baik sistem upah yang lebih memadai sampai sistem pemberian kredit yang lebih mudah agar generasi Z lebih tertarik dalam memiliki rumah dan sebagai investasi.